Sebagaimanayang diketahui bahwa Al-Muzani meringkas kitab Al-Umm Imam Asy-Syafi'I dengan kitabnya Al-Mukhtashar. Salah satu tujuannya adalah untuk memudahkan bagi para penuntut ilmu serta para fuqaha untuk memahami fiqih Imam Asy-Syafi'i. Maka dengan berlandaskan kepada kitab Al-Mukhtashar ini, Imam Al-Mawardi pun menulis Al-Hawi Al-Kabir.
Abū ʿAbdullāh Muhammad bin Idrīs al-Syafiʿī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`i bahasa Arab محمد بن إدريس الشافعي yang akrab dipanggil Imam Syafi’i Ashkelon, Gaza, Palestina, 150 H / 767 M – Fusthat, Mesir 204H / 819 M adalah seorang mufti besar Sunni Islam dan juga pendiri madzhab Syafi’i. Imam Syafi’i juga tergolong kerabat dari Rasulullah , ia termasuk dalam Bani Muthalib, yaitu keturunan dari al-Muththalib, saudara dari Hasyim, yang merupakan kakek usia 20 tahun, Imam Syafi’i pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam Hanafi di Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Madzhab Syafi’i. Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun bin Abbas menyertai istrinya dalam sebuah perjalanan yang cukup jauh, yaitu menuju kampung Gaza, Palestina, dimana saat itu umat Islam sedang berperang membela negeri Islam di kota saat itu Fatimah al-Azdiyyah sedang mengandung, Idris bin Abbas gembira dengan hal ini, lalu ia berkata, “Jika engkau melahirkan seorang putra, maka akan kunamakan Muhammad, dan akan aku panggil dengan nama salah seorang kakeknya yaitu Syafi’i bin Asy-Syaib.”Akhirnya Fatimah melahirkan di Gaza, dan terbuktilah apa yang dicita-citakan ayahnya. Anak itu dinamakan Muhammad, dan dipanggil dengan nama “asy-Syafi’i”.Kebanyakan ahli sejarah berpendapat bahwa Imam Syafi’i lahir di Gaza, Palestina,, namun di antara pendapat ini terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam Syafi’i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah telah mentakdirkan pada setiap seratus tahun ada seseorang yang akan mengajarkan Sunnah dan akan menyingkirkan para pendusta terhadap Rasulullah shalallahu alaihi wassalam. Kami berpendapat pada seratus tahun yang pertama Allah mentakdirkan Umar bin Abdul Aziz dan pada seratus tahun berikutnya Allah menakdirkan Imam Asy-Syafi` ayah Imam Syafi’i tinggal di tanah Hijaz, ia merupakan keturunan dari al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdul Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul nasab tersebut, Al-Mutthalib bin Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallamKemudian juga saudara kandung Abdul Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam , bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu `anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf, yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda“Hanyalah kami yakni Bani Hasyim dengan mereka yakni Bani Mutthalib berasal dari satu nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau.”—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 – 66Masa belajarSetelah ayah Imam Syafi’i meninggal dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa di MakkahDi Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu, maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin yang lainnya dalam fiqih ialah Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih sebagaimana tersebut di di MadinahKemudian beliau pergi ke Madinah dan berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan majelis beliau ini, si anak yatim tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di menyatakan kekagumannya setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi “Seandainya tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam Malik “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik sehingga beliau menyatakan “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan “Aku tidak membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”Dari berbagai pernyataan beliau di atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah, seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi Yahya. Tetapi sayang, guru beliau yang disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam berbagai periwayatan YamanImam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi oleh beliau ini seperti Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang Baghdad, IrakKemudian pergi ke Baghdad 183 dan tahun 195, di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar pikiran yang menjadikan Khalifah Ar MesirImam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya madzhab qodim. Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru madzhab jadid. Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan Rajab 204 tulisAr-RisalahSalah satu karangannya adalah “Ar risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh, hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta ilmu melainkan Allah memberinya di leher’ Syafi’i,”. Thasy Kubri mengatakan di Miftahus sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah dipercaya, adalah kredibilitas agama dan moral, zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan hidupnya saja masih kurang lengkap,”Mazhab Syafi’iDasar madzhabnya Al Quran, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan menganggap baik suatu masalah sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i adalah nashirussunnah pembela sunnah,”Muhammad bin Daud berkata, “Pada masa Imam Asy-Syafi`i, tidak pernah terdengar sedikitpun beliau bicara tentang hawa, tidak juga dinisbatkan kepadanya dan tidakdikenal darinya, bahkan beliau benci kepada Ahlil Kalam dan Ahlil Bid’ah.” Beliau bicara tentang Ahlil Bid’ah, seorang tokoh Jahmiyah, Ibrahim bin Ulayyah, “Sesungguhnya Ibrahim bin Ulayyah sesat.” Imam Asy-Syafi`i juga mengatakan, “Menurutku, hukuman ahlil kalam dipukul dengan pelepah pohon kurma dan ditarik dengan unta lalu diarak keliling kampung seraya diteriaki, “Ini balasan orang yang meninggalkan kitab dan sunnah, dan beralih kepada ilmu kalam.”Imam Asy-Syafi`i termasuk Imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah, beliau jauh dari pemahaman Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang menyimpang dalam aqidah, khususnya dalam masalah aqidah yang berkaitan dengan Asma dan Shifat Allah subahanahu wa Ta’ala. Beliau tidak meyerupakan nama dan sifat Allah dengan nama dan sifat makhluk, juga tidak menyepadankan, tidak menghilangkannya dan juga tidak mentakwilnya. Tapi beliau mengatakan dalam masalah ini, bahwa Allah memiliki nama dan sifat sebagaimana yang tercantum dalam Al-Qur’an dan sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shalallahu alaihi wassalam kepada umatnya. Tidak boleh bagi seorang pun untuk menolaknya, karena Al-Qur’an telah turun dengannya nama dan sifat Allah dan juga telah ada riwayat yang shahih tentang hal itu. Jika ada yang menyelisihi demikian setelah tegaknya hujjah padanya maka dia kafir. Adapun jika belum tegak hujjah, maka dia dimaafkan dengan bodohnya. Karena ilmu tentang Asma dan Sifat Allah tidak dapat digapai dengan akal, teori dan pikiran. “Kami menetapkan sifat-sifat Allah dan kami meniadakan penyerupaan darinya sebagaimana Allah meniadakan dari diri-Nya. Allah berfirman,Beliau mewariskan kepada generasi berikutnya sebagaimana yang diwariskan oleh para nabi, yakni ilmu yang bermanfaat. Ilmu beliau banyak diriwayatkan oleh para murid- muridnya dan tersimpan rapi dalam berbagai disiplin ilmu. Bahkan beliau pelopor dalam menulis di bidang ilmu Ushul Fiqih, dengan karyanya yang monumental Risalah. Dan dalam bidang fiqih, beliau menulis kitab Al-Umm yang dikenal oleh semua orang, awamnya dan alimnya. Juga beliau menulis kitab Jima’ul mempunyai banyak murid, yang umumnya menjadi tokoh dan pembesar ulama dan Imam umat islam, yang paling menonjol adalah bin Hambal, Ahli Hadits dan sekaligus juga Ahli FiqiKesalahan pengutipan Tag ref tidak sah; referensi tanpa isi harus memiliki namah dan Imam Ahlus Sunnah dengan kesepakatan kaum muslimin. 2. Al-Hasan bin Muhammad Az-Za’farani 3. Ishaq bin Rahawaih, 4. Harmalah bin Yahya 5. Sulaiman bin Dawud Al Hasyimi 6. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al Kalbi dan lain-lainnya banyak “Al Hujjah” yang merupakan madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur, Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’ masalah Al-Qur’an, beliau Imam Asy-Syafi`i mengatakan, “Al-Qur’an adalah Qalamullah, barangsiapa mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah makhluk maka dia telah kafir.”Al-UmmSementara kitab “Al Umm” sebagai madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku, maka buanglah perkataanku di belakang tembok,”“Kebaikan ada pada lima hal kekayaan jiwa, menahan dari menyakiti orang lain, mencari rizki halal, taqwa dan tsiqqah kepada Allah. Ridha manusia adalah tujuan yang tidak mungkin dicapai, tidak ada jalan untuk selamat dari ucapan manusia, wajib bagimu untuk konsisten dengan hal-hal yang bermanfaat bagimu”.“Ikutilah Ahli Hadits oleh kalian, karena mereka orang yang paling banyak benarnya.”Beliau berkata, “Semua perkataanku yang menyelisihi hadits yang shahih maka ambillah hadits yang shahih dan janganlah taqlid kepadaku.”Beliau berkata, “Semua hadits yang shahih dari Nabi Shalallahu alaihi wassalam maka itu adalah pendapatku meski kalian tidak mendengarnya dariku.”Beliau mengatakan, “Jika kalian dapati dalam kitabku sesuatu yang menyelisihi Sunnah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam maka ucapkanlah sunnah Rasulullah dan tinggalkan ucapanku.”Akhir HayatPada suatu hari, Imam Syafi’i terkena wasir, dan tetap begitu hingga terkadang jika ia naik kendaraan darahnya mengalir mengenai celananya bahkan mengenai pelana dan kaus kakinya. Wasir ini benar-benar menyiksanya selama hampir empat tahun, ia menanggung sakit demi ijtihadnya yang baru di Mesir, menghasilkan empat ribu lembar. Selain itu ia terus mengajar, meneliti dialog serta mengkaji baik siang maupun suatu hari muridnya Al-Muzani masuk menghadap dan berkata, “Bagamana kondisi Anda wahai guru?” Imam Syafi’i menjawab, “Aku telah siap meninggalkan dunia, meninggalkan para saudara dan teman, mulai meneguk minuman kematian, kepada Allah dzikir terus terucap. Sungguh, Demi Allah, aku tak tahu apakah jiwaku akan berjalan menuju surga sehingga perlu aku ucapkan selamat, atau sedang menuju neraka sehingga aku harus berkabung?”.Setelah itu, dia melihat di sekelilingnya seraya berkata kepada mereka, “Jika aku meninggal, pergilah kalian kepada wali penguasa, dan mintalah kepadanya agar mau memandikanku,” lalu sepupunya berkata, “Kami akan turun sebentar untuk shalat.” Imam menjawab, “Pergilah dan setelah itu duduklah disini menunggu keluarnya ruhku.” Setelah sepupu dan murid-muridnya shalat, sang Imam bertanya, “Apakah engkau sudah shalat?” lalu mereka menjawab, “Sudah”, lalu ia minta segelas air, pada saat itu sedang musim dingin, mereka berkata, “Biar kami campur dengan air hangat,” ia berkata, “Jangan, sebaiknya dengan air safarjal”. Setelah itu ia wafat. Imam Syafi’i wafat pada malam Jum’at menjelang subuh pada hari terakhir bulan Rajab tahun 204 Hijriyyah atau tahun 809 Miladiyyah pada usia 52 lama setelah kabar kematiannya tersebar di Mesir hingga kesedihan dan duka melanda seluruh warga, mereka semua keluar dari rumah ingin membawa jenazah diatas pundak, karena dahsyatnya kesedihan yang menempa mereka. Tidak ada perkataan yang terucap saat itu selain permohonan rahmat dan ridha untuk yang telah ulama pergi menemui wali Mesir yaitu Muhammad bin as-Suri bin al-Hakam, memintanya datang ke rumah duka untuk memandikan Imam sesuai dengan wasiatnya. Ia berkata kepada mereka, “Apakah Imam meninggalkan hutang?”, “Benar!” jawab mereka serempak. Lalu wali Mesir memerintahkan untuk melunasi hutang-hutang Imam seluruhnya. Setelah itu wali Mesir memandikan jasad sang Imam Syafi’i diangkat dari rumahnya, melewati jalan al-Fusthath dan pasarnya hingga sampai ke daerah Darbi as-Siba, sekarang jalan Sayyidah an-Nafisah. Dan, Sayyidah Nafisah meminta untuk memasukkan jenazah Imam ke rumahnya, setelah jenazah dimasukkan, beliau turun ke halaman rumah kemudian salat jenazah, dan berkata, “Semoga Allah merahmati asy-Syafi’i, sungguh ia benar-benar berwudhu dengan baik.”Jenazah kemudian dibawa, sampai ke tanah anak-anak Ibnu Abdi al-Hakam, disanalah ia dikuburkan, yang kemudian terkenal dengan Turbah asy-Syafi’i sampai hari ini, dan disana pula dibangun sebuan masjid yang diberi nama Masjid asy-Syafi’i. Penduduk Mesir terus menerus menziarahi makam sang Imam sampai 40 hari 40 malam, setiap penziarah tak mudah dapat sampai ke makamnya karena banyaknya
DiMakkah, Imam Syafi'i berguru fiqh kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Kemudian beliau juga belajar dari Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, Muhammad bin Ali bin Syafi', dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah. Dan masih banyak lagi guru yang lainnya.
Dalam kajian fiqih, kita kenal Imam Syafi’i sebagai salah satu dari mujtahid mutlak sebagaimana Imam Abu Hanifah, Imam Malik bin Anas, dan Imam Ahmad bin Hanbal. Mereka dikategorikan sebagai mujtahid mutlak karena mampu berijtihad sendiri melalui Al-Qur’an dan al-Sunnah. KH Achmad Siddiq dalam bukunya Khittah Nahdliyyah 1980 menyebutkan, mujtahid mutlaq atau mujtahid mustaqil bebas yaitu Imam tokoh agama yang mampu berijtihad atau ber-istinbath sendiri dari Al-Qur’an dan al-Sunnah dengan menggunakan metode yang ditemukan atau dirumuskannya sendiri dan diakui kekuatannya oleh para tokoh agama imam lainnya. Mujtahid mutlak memiliki metode tersendiri dalam berijtihad. Itulah mengapa para pendiri mazhab mempunyai keragaman metode dalam menggali hujjah mereka. Di samping itu, metode dasar hukum ini belum pernah dirumuskan secara konkret oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Berbeda dengan Imam Syafi’i yang sudah merumuskan metode itu menjadi aspek keilmuan baru disebut ushul fiqh. Imam al-Fakhr al-Razi dalam bukunya berjudul al-Imam al-Syafi’i Manaqibuhu wa Ilmuhu mengatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menuliskan tentang ilmu ushul fiqh, ia juga yang menyusun pembahasan ushul fiqh, mengklasifikasikan bagian-bagiannya, dan menjelaskan tingkatan dalilnya antara yang kuat dan lemah. Selanjutnya, Imam al-Razi menambahkan bahwa para ahli fiqih sebelum Imam Syafi’i telah membicarakan masalah ushul fiqh, mereka ber-istidlal dan berargumentasi. Tetapi mereka tidak mempunyai aturan baku sebagai rujukan untuk mengetahui dalil-dalil syariat, mengetahui metode berargumentasi, dan mengukuhkan dalil yang sama-sama kuat. Oleh sebab itu, Imam Syafi’i menggagas ilmu ushul fiqh dan meletakkan kaidah-kaidah universal sebagai rujukan untuk mengetahui tingkatan dalil-dalil syar’i. Perumusan ushul fiqh oleh Imam Syafi’i ini dituangkan dalam karyanya bernama al-Risalah. Dalam buku al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabaihi al-Qadim wa al-Jadid 1988 karangan KH Nahrawi Abdussalam, karya al-Risalah ini pertama kali dikarang untuk Abdurrahman bin Mahdi sebelum Imam Syafi’i datang ke Mesir. Akan tetapi, karya ini belum mencakup seluruh pembahasan ushul fiqih mazhab Syafi’i. Ketika beliau pergi ke Mesir, beberapa kitabnya tertinggal, termasuk al-Risalah, sehingga beliau menulis kembali kitab tersebut mencakup revisiannya. Kitab al-Risalah yang beredar kini adalah hasil revisi ketika berada di Mesir. Tidak banyak yang berubah dari versi lamanya, karena Imam Syafi’i hanya meringkas kitab tersebut agar tidak melebar dan tanpa mengurangi esensi ilmu dalam setiap topik pembahasannya. Selain al-Risalah, pemikiran Imam Syafi’i dalam bidang ushul fiqih terdapat juga pada karyanya yang lain, yaitu al-Umm, Ibthal al-Istihsan, dan Jima’ al-Ilm. Pengembaraan Imam Syafi’i dalam menuntut ilmu tidak bisa dianggap hal sepele. Di Makkah, beliau belajar fiqih kepada ahli hadits seperti Muslim bin Khalid al-Zanji wafat 179 H dan Sufyan bin Uyainah wafat 198 H, di sana pula beliau telah menghafal kitab al-Muwaththa. Setelah itu, ia menuju Madinah dan belajar metode fiqih aliran tradisional kepada Imam Malik bin Anas yang dikenal sebagai tokoh mazhab ahli hadis di Hijaz saat berusia 13 tahun. Setelah Imam Malik wafat pada tahun pada 179 H, beliau melanjutkan pengembaraan ke Yaman untuk bekerja sambil menuntut ilmu. Di sana ia mengaji kepada Abu Ayub Mutharrif bin Mazen al-Shan’ani wafat 190 H yang menjabat sebagai hakim kota Sana’a Yaman. Kemudian pada tahun 184 H beliau berkunjung ke Irak dan menemukan perbedaan yang signifikan dengan di Hijaz. Kendati kota Baghdad merupakan penganut metode fiqih aliran rasional yang diwariskan dari Abdullah bin Mas’ud. Tokoh yang mengusung aliran ini adalah Imam Abu Hanifah dengan ajaran yang berbeda dengan ahli hadits. Imam Syafi’i belajar fiqih rasional kepada Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani, pengikut dan penyebar mazhab Hanafi. Mengenai ushul fiqih Imam Syafi’i, beliau mampu menguasai dengan baik dua metode fiqih rasional dan tradisional, sehingga dua hal ini yang menjadi landasan metode fiqihnya. Melalui pengembaraannya, beliau sampai pada pendapat dan sikapnya sendiri yaitu tidak melampaui batas, sikap yang baik adalah moderat dan mengambil jalan tengah. Beliau menyetujui metode fiqih rasional yang terpusat di Irak dalam menetapkan qiyas sebagai salah satu perbedaan beramal dengan syarat tertentu. Di samping itu, beliau tidak menyetujui metode fiqih rasional dalam hal mendasarkan amalan kepada istihsan, karena hal itu jauh dari tuntutan Al-Qur’an dan hadits, maka dikhawatirkan akan terjebak pada kekeliruan. Begitu juga beliau tidak menyetujui metode rasional yang terlalu selektif memilih dan menerima hadits, karena hadis adalah sumber rujukan kedua dalam syariat Islam, maka untuk menerima hadits cukup dengan syarat hadits ini muttashil tersambung sanadnya dan sahih sanadnya. Gagasan Imam Syafi’i tersebut yang diolahnya sebagai jalan tengah menyikapi problematika metodologi ushul di mana para pengikut mazhab rasional dan tradisional sempat mengalami perdebatan panjang. Rumusan ini menjadi pengantar kemoderatan antara kedua perdebatan itu sehingga terbentuk aliran baru bernama mazhab Syafi’i. Kiai Nahrawi Abdussalam mengutip definisi pakar syariat bahwa mazhab adalah sekumpulan pemikiran para mujtahid dalam bidang hukum-hukum syariat yang digali berdasarkan dalil-dalil terperinci tafshil, kaidah-kaidah dan ushul, dan memiliki keterkaitan antara satu dan lainnya, lalu dijadikan kesatuan yang utuh. Dengan perdebatan panjang mengenai metodologi berfiqih, menjadi acuan berkembangnya diskusi keilmuan syariah. Dengan begitu, tidak perlu bagi kita untuk membuat mazhab dengan metode ijtihad baru, karena para ulama salaf sudah mengembangkan diskursus keilmuan itu selama generasi ke generasi. Alih-alih, semua konsep fiqih sudah disusun rapi melalui para mujtahid mutlak, mujtahid mazhab sampai kepada mujtahid fatwa. Melalui diskusi yang luas, hingga akhirnya pengertian ushul fiqih telah disimpulkan secara singkat oleh Imam Sya’rani yang pendapatnya termaktub dalam buku Bughyah al-Mustarsyidin karangan Sayyid Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, yakni kembali kepada tingkatan-tingkatan perintah amar dan larangan nahi yang telah muncul dari al-Qur’an dan al-Sunnah dan kembali kepada mengetahui apa saja yang menjadi ijma para ulama, apa saja yang mereka jadikan qiyas, dan apa saja yang mereka kemukakan dari hasil ijtihad melalui proses menyimpulkan pendapat istinbath. Beliau menambahkan, terhimpun setiap perkara amar dan nahi menjadi dua tingkatan, yaitu ringan dan berat. Barangsiapa yang merasa dirinya lemah pada suatu hukum, maka ia boleh menggunakan pendapat yang memiliki tingkatan ringan, serta sebaliknya apabila ia kuat, maka ia gunakan pendapat yang memiliki tingkatan berat. Itulah sebabnya mengapa para ulama kita di Nahdlatul Ulama lebih memilih pada tradisi taqlid mazhab ketimbang percaya pada slogan kembali ke al-Qur’an dan Hadits’. Selain itu, Kiai Achmad Siddiq sudah merumuskan secara konkret mengenai prinsip kemoderatan NU dalam bidang syariah yang sangat sesuai dengan karakter Ahlussunnah Wal Jamaah, yaitu Pertama, selalu berpegang teguh pada al-Quran dan Sunnah, dengan menggunakan metode dan sistem yang dipertanggungjawabkan dan melalui jalur-jalur yang wajar. Kedua, pada masalah yang sudah ada dalil teks yang jelas qath’i tidak boleh ada campur tangan pendapat akal. Ketiga, pada masalah yang tidak tegas dan tidak pasti dhanniyyat, dapat ditoleransi adanya perbedaan pendapat selama masih tidak bertentangan dengan prinsip agama. Sikap itu pula yang tertuang pada buku Khittah Nahdlatul Ulama tentang sikap kemasyarakatan NU di mana cerminan sikap tengah yang berintikan pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah kehidupan bersama. Nahdlatul Ulama dengan sikap dasar ini akan selalu menjadi kelompok panutan yang bersikap dan bertindak lurus dan selalu bersifat membangun serta menghindari segala bentuk pendekatan yang bersifat tatharruf ekstrem. Ahmad Rifaldi Pegiat Sejarah dan Ketua Alumni Pondok Pesantren Al-Awwabin Depok *Disarikan dari berbagai sumber 1. Buku Khittah Nahdliyyah, KH Achmad Siddiq, Balai Buku, 1980. 2. Buku al-Imam al-Syafi’i Manaqibuhu wa Ilmuhu, Imam al-Fakhr al-Raazi. 3. Buku al-Imam al-Syafi’i fi Mazhabaihi al-Qadim wa al-Jadid, KH Nahrawi Abdussalam, Maktabah Syabab, 1988. 4. Buku Khittah Nahdlatul Ulama seri 02/11/85, Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU.
BeliFikih Islam Lengkap Madzhab Syafi'i Bonus Buku Dzikir Pagi Petang di Rahma-2062. Promo khusus pengguna baru di aplikasi Tokopedia! Website tokopedia memerlukan javascript untuk dapat ditampilkan.
Belajarilmu Fiqih mazhab Imam syafi'i February 24, 2011 · Kita dianjurkan mengikuti 1 dari 4mazhab yg ada agar diyaumil kiamah nanti ada yg bertanggung jawab yaitu imam kita, tapi kita diperbolehkan taklid kpd imam yg lain dgn syarat niat dan mengikuti aturan dlm imam yg akan kita taklid. .
AlAllamah Al Qalyubi menyebutkan sanad fiqih Imam Asy-Syafi'i dengan rangkaian berikut; Belajar Agama Islam dengan Ustadz Irham (H. Irham) Sei Piai Kiri, Belajar Wirid Zikir dan Do'a-do'a dengan Ustadz A. Kadri Afandi & Ustadz Hasan Basri Tungkal Tahun 1981, Pendidikan SD Negeri 034 SPKN Rantau Panjang Tamat 1987, MTs Negeri 094
DiMekah, Syafii kecil mulai mempelajari bahasa Arab, ilmu-ilmu syariat, dan sejarah. Ia terkenal sebagai seoarang anak yang cerdas, di usia enam atau tujuh tahun 30 juz Alquran sudah sempurna bersemayam di dalam dadanya. Selain menjadi bintang dalam ilmu fiqh, Imam Syafi'i juga dikenal dengan kefasihan dan pengetahuannya tentang bahasa
H6JfN. ox3r45hn3q.pages.dev/300ox3r45hn3q.pages.dev/7ox3r45hn3q.pages.dev/401ox3r45hn3q.pages.dev/289ox3r45hn3q.pages.dev/149ox3r45hn3q.pages.dev/527ox3r45hn3q.pages.dev/582ox3r45hn3q.pages.dev/465
belajar fiqih syafi i